Insiden Dyatlov Pass adalah peristiwa misterius yang menewaskan sembilan orang antara tanggal 1 dan 2 Februari 1959 di utara Pegunungan Ural.

Banyak teori telah diajukan untuk menjelaskan kematian yang tidak dapat dijelaskan ini, termasuk dugaan serangan hewan liar, hipotermia, longsoran salju, angin besar, kepanikan yang disebabkan infrasonik, keterlibatan militer, berkaitan dengan UFO, alien, sebuah serangan oleh Yeti, dan banyak teori-teori lainnya.

Dalam sebuah artikel yang diterbitkan baru-baru ini, di jurnal Communications Earth and Environtment, para peneliti menyajikan data yang menunjukkan kemungkinan bahwa longsoran salju kecil yang aneh, mungkin telah bertanggung jawab atas cedera mengerikan dan kematian sembilan pendaki berpengalaman di Pegunungan Ural Rusia pada musim dingin tahun 1959.

Kesembilan pendaki ditemukan berserakan di sekitar lereng gunung. Beberapa dalam keadaan tanpa pakaian yang membingungkan, beberapa dengan tengkorak dan dada yang telah hancur, yang lain telah kehilangan mata, dan satu tidak memiliki lidah.

Menurut BBC News, dua pria ditemukan tanpa alas kaki, dan hanya mengenakan pakaian dalam. Sementara sebagaian besar dari mereka tampaknya telah meninggal karena hipotermia (suhu tubuh menurun drastis). Setidaknya empat menderita cedera mengerikan dan tidak bisa dijelaskan, termasuk tengkorak yang retak, tulang rusuk dalam keadaan patah, dan luka di kepala yang menganga. Seorang wanita juga telah kehilangan bola mata dan lidahnya.

Menurut dokumen yang diperoleh oleh St Petersburg Times, kata seorang dokter yang memeriksa mayat-mayat, "cedera-cedera itu sama dengan cedera yang diakibatkan oleh tabrakan sebuah mobil".


Investigasi saat itu menyalahkan kematian mereka sebagai diakibatkan oleh "kekuatan alam yang tidak diketahui."

Robin George Andrew melaporkan untuk National Geographic bahwa penelitian terbaru yang dipublikasikan di jurnal Communications Earth and Environment, menunjukkan penjelasan yang lebih "masuk akal", dengan menggunakan permodelan komputer tingkat lanjut untuk berasumsi bahwa longsoran salju yang tidak biasa sebagai penyebab insiden tersebut.

Johan Gaume (penulis utama), kepala di Snow and Avalanche Simulation Laboratory di Swiss Federal Institute of Technology, mengatakan :

"Kami tidak mengklaim telah menyelesaikan misteri Dyatlov Pass, karena tidak ada yang selamat (dari insiden itu) untuk menceritakan kisah aslinya. Tapi kami menunjukkan hipotesis longosran salju yang masuk akal [untuk pertama kalinya]."

Pada tahun 2019, pihak berwenang Rusia mengumumkan rencana untuk meninjau kembali insiden tersebut, yang mereka kaitkan bukan sebagai sebuah kejahatan, tetapi berkaitan dengan longsoran salju, lempengan salju dan badai.

Setelah itu, penyelidikan tersebut menunjukkan kematian para pendaki diakibatkan pada gabungan antara longsoran salju dan jarak pandang yang buruk.

Kantor berita milik negara, RIA, pada juli tahun 2020 menjelaskan : temuan resmi telah menunjukkan bahwa aliran yang deras dari lempeng salju, atau bongkahan salju kotak, mengejutkan para pendaki yang tertidur, membuat mereka pergi keluar untuk mencari perlindungan di punggung bukit terdekat. Karena tidak dapat melihat lebih dari 50 kaki di depan mereka, para pendaki membeku sampai mati ketika mereka mencoba untuk kembali ke tenda mereka.

Kritikus teori longosoran-lempengan mengutip empat argumen tandingan utama :

Kurangnya jejak fisik dari longsoran yang ditemukan oleh penyelamat, jarak yang lebih dari sembilan jam antara para pendaki yang membangun kemah mereka, kemiringan dangkal dari tempat perkemahan, dan cedera traumatis yang diderita oleh para pendaki.


Asfiksia (kondisi ketika kadar oksigen di dalam tubuh berkurang) adalah penyebab kematian yang lebih umum bagi korban longsoran salju.

Gaume dan Alexander M. Puzrin (rekan penulis), insinyur di ETH Zurich, menggunakan catatan sejarah untuk menciptakan kembali lingkungan gunung pada malam insiden Dyatlov terjadi, dan berusaha untuk mengatasi ketidakkonsistenan ini.

Kemudian, para ilmuwan menulis dalam penelitian tersebut, mensimulasikan longsoran lempengan, menggambarkan data gesekan salju dan topologi lokal, yang mengungkapkan bahwa lereng sebenarnya tidak sedangkal yang terlihat, dan membuktikan bahwa longsoran salju yang kecil dapat melanda area tersebut sambil meninggalkan sedikit jejak.

Para penulis berteori bahwa angin katabatik, atau saluran udara yang mengalir cepat yang didorong oleh gaya gravitasi, telah membawa salju menuruni gunung ke lokasi perkemahan, kemudian pada akhirnya salju tersebut menumpuk, menjadi terlalu berat untuk ditopang oleh lereng.

Angin katabatik terjadi saat udara di bagian atas puncak gunung mendingin oleh konduksi, maka akan membuat udara lebih padat, sehingga akan turun menuruni lembah. Angin ini biasanya terjadi pada malam hari, dan faktor yang mempengaruhi terbentuknya angin ini adalah tingkat pendinginan di sepanjang lereng.

Banyak yang beragumen bahwa teori longsoran salju yang awalnya diusulkan pada tahun 1959, tampaknya masih belum meyakinkan. Tenda perkemahan tim dipasang di lereng yang tampaknya terlau ringan untuk memungkinkan terjadinya longsoran salju.

Tidak ada hujan salju pada malam kejadian (tanggal 1 Februari) yang dapat meningkatkan beban salju di lereng dan memicu terjadinya longsoran.

Sebagian besar luka atau cederanya, seperti trauma oleh benda tumpul, dan beberapa kerusakan jaringan lunak tidak lazim jika disebabkan oleh longsoran salju, yang biasanya menyebabkan sesak nafas.

Jika longsoran salju memang telah terjadi, mengapa ada delay (jeda) setidaknya 9 jam (menurut data forensik), antara anggota tim yang memangkas lereng untuk perkemahan mereka dan akhirnya terjadi longsor ?

Jeda yang aneh ini menjadi perhatian yang khusus bagi Alexander Puzrin. Dia baru-baru ini menerbitkan sebuah makalah yang menjelaskan bagaimana meskipun kelihatannya aneh, sebuah gempa dapat memicu longsoran salju dengan jarak hanya beberapa menit hingga beberapa jam di antara dua peristiwa tersebut.

Saat Puzrin dibesarkan di Rusia, dia mengetahui tentang kisah Dyatlov Pass dan terpesona oleh insiden terkenal itu, dan bertanya-tanya tentang apa yang mungkin menjadi penyebab terjadinya insiden tersebut.

John Gaume mengenal Puzrin sekitar waktu saat penyelidikan Rusia 2019 mengenai apa yang sebenarnya terjadi di Dyatlov Pass, dan mencurigai masalah jeda longsoran salju sebagai salah satu kunci untuk memecahkan misteri tersebut.

Mereka bekerja sama untuk membuat model analitik dan simulasi komputer untuk mencoba dan mengulang jam-jam terakhir yang merenggut nyawa para pendaki.

Argumen tentang lereng yang dangkal terhadap longsoran salju, ditangani sejak awal dan ternyata, itu tidak terlalu dangkal.

Topografi yang bergelombang di Kholat Saykhl, yang ditutupi oleh hujan salju, membuat lereng tampak ringan, tetapi itu sebenarnya lebih mendekati sudut 30 derajat, persyatatan minimum untuk banyak longsoran.

Laporan yang berasal dari penyelidikan awal lokasi kejadian, juga menggambarkan lapisan salju di gunung yang tidak menggumpal, memiliki dasar yang lemah, dan licin sehingga banyak salju di atasnya dapat dengan mudah meluncur.


Puzrin mengatakan, "topologi (bentuk permukaan) lokal memperdaya mereka."

Lalu ada pertanyaan tentang tumpukan salju, di mana saat tim melakukan pemangkasan di salju untuk mendirikan tenda mereka, membuat lereng menjadi tidak stabil, tapi salju tambahan harus dikumpulkan sebelum longsoran salju bisa terjadi.

Sementara laporan cuaca tidak mencatat salju pada malam itu, catatan harian grup Dyatlov mencatat ada angin yang sangat kencang.

Ini kemungkinan besar adalah angin katabatik, yang merupakan gumpalan udara dingin deras yang membawa sejumlah besar salju dari tempat yang lebih tinggi ke bawah menuju lokasi perkemahan, lalu meningkatkan beban di lereng yang sudah berbahaya, dan ini menjelaskan jeda selama sembilan jam antara pemangkasan dan longsoran salju.

Berdasarkan simulasi komputer, menunjukkan longsoran salju di Kholat Saykhl tidak terlalu besar, mungkin melibatkan materi balok es yang panjangnya hanya 16 kaki (seukuran mobil SUV).

Ukuran tersebut menjelaskan mengapa tidak ada bukti longsoran salju yang ditemukan selama penyelidikan awal. Tetapi penjelasan ini juga memunculkan pertanyaan lain, bagaimana lonsgoran itu bisa menyebabkan luka traumatis ?

Untuk menjawab pertanyaan ini, para ilmuwan mengandalkan sumber inspirasi yang tidak biasa, dengan bantuan sumber yang mengejutkan, yaitu film Frozen.

Menurut National Geographic, Gaume menjelaskan bagimana, beberapa tahun yang lalu, dia sangat terpesona oleh seberapa baiknya pergerakan salju di film tersebut, bahkan dia terkesan, sehingga dia memutuskan untuk bertanya kepada para animator bagaimana mereka melakukannya.

Gaume memodifikasi kode animasi salju film tersebut terhadap model longsorannya, untuk mensimulasikan dampak longsoran salju pada tubuh manusia.

Simulasi ini ditambah dengan data tes mayat oleh General Motors pada tahun 1970an untuk menentukan apa yang terjadi pada tubuh manusia ketika diserang pada kecepatan yang berbeda.

Puzrin mengatakan, : "Kami menemukan bahwa pada tahun 1970an, General motors (GM) mengambil 100 mayat dan mematahkan tulang rusuk mereka, memukulnya dengan bobot berbeda dengan kecepatan berbeda untuk melihat apa yang terjadi selama kecelakaan mobil."

Data tersebut pada akhirnya digunakan untuk menyesuaikan keamanan pada sabuk pengaman.

Beberapa mayat yang digunakan dalam tes General motors diperkuat dengan penyangga kaku sementara yang lain tidak, sebuah faktor yang akhirnya menjadi sebuah kebetulan bagi Puzrin dan Gaume.

Kembali ke lereng di Kholat Saykhl, anggota tim meletakkan tempat tidur mereka di atas salju. Ini berarti bahwa longsoran salju yang menghantam mereka saat mereka tidur, mengenai target (korban) yang sangat kaku, dan eksperimen mayat GM tahun 70an, dapat digunakan untuk mengkalibrasi model tabrakan dengan presisi yang luar biasa.

Puzrin mengatakan :

Dari model komputer para peneliti, menunjukkan bahwa balok salju tebal sepanjang 16 kaki (4,8 meter), dalam situasi yang unik ini, dapat dengan mudah mematahkan tulang rusuk dan tengkorak orang yang tidur di tempat tidur yang kaku (atau keras). Cedera ini akan parah, tetapi tidak fatal - setidaknya tidak segera mengakibatkan cedera serius.

Jordy Hendrikx (direktur Snow and Avalanche Lab di Montana State University), yang tidak terlibat dalam penelitian ini, telah lama menduga lonsgoran salju sebagai penyebab yang paling masuk akal atas insiden Dyatlov Pass.

Dia mengatakan simulasi tim kini telah menciptakan kembali malam yang mematikan dengan ketepatan yang baru saja ditemukan.

"Sungguh menarik bagaimana perkembangan sains baru di dunia longsoran salju dapat memberi petunjuk baru terhadap teka-teki yang bersejarah ini."

Jika ini terjadi, Gaume dan General Motors berpendapat, pendaki yang mengalami hantaman yang tidak terlalu serius, kemungkinan akan menyeret teman mereka yang terluka untuk keluar dari tenda dengan harapan bisa menyelamatkan hidup mereka.

Jim McElwaine (ahli geoharazd di Durham University Inggris), yang juga tidak terlibat dalam penelitian ini, mengatakan kepada National Geographic bahwa lempengan salju itu harus sangat kaku, dan bergerak dengan kecepatan yang signnifikan (tertentu), untuk menimbulkan cedera yang begitu parah.


"Agak mengejutkan bahwa longsoran salju sekecil itu dapat menyebabkan cedera yang begitu parah."

Freddie Wilkinson (pemandu dan pendaki gunung profesional), mengatakan bahwa sangat masuk akal jika lempengan yang tidak berbahaya seperti itu dapat menyebabkan cedera tubuh yang buruk.

"Beberapa potongan bisa jadi cukup keras, dan sangat masuk akal bisa menyebabkan luka trauma (dari benda) tumpul".

"Saya benar-benar yakin bahwa tragedi ini adalah hasil dari angin dan pengendapan salju, dan fakta bahwa mereka mendirikan kemah di lereng bukit."

Wilkinson menceritakan bahwa selama ekspedisi Antartika 2012, tenda-tenda milik tim Wilkinson dipasang di dalam lingkaran dinding salju yang membelokkan angin. Saat kembali ke Kamp, setelah pergi selama tiga hari, timnya menemukan bahwa dua tenda yang ditempatkan di dinding berpelindung angin, seluruhnya telah terkubur.

Longsoran salju yang tampaknya terjadi pada 1 Februari 1959 di Kholat Saykhl adalah sebuah peristiwa langka yang memang terjadi, dan ini hanya bisa terjadi pada tempat yang tepat, pada momen yang tepat, selama satu malam yang sangat dingin saat itu.

Berbicara dengan New Scientist, McElwaine menambahkan bahwa penelitian tersebut "tidak menjelaskan mengapa orang-orang ini, setelah dilanda longsoran, lari tanpa pakaian mereka ke (area) bersalju".

"Jika anda berada di lingkuran yang keras seperti itu, meninggalkan tempat berlindung tanpa mengenakan pakaian adalah bunuh diri. Bagi orang-orang yang melakukan itu, mereka pasti ketakutan oleh sesuatu. Saya berasumsi bahwa salah satu hal yang paling mungkin adalah mereka menjadi gila karena suatu alasan. Saya tidak mengerti mengapa mereka berperilaku seperti itu kecuali mereka mencoba melarikan diri dari seseorang yang telah melacak mereka."

Apa yang terjadi setelah longsoran salju adalah spekulasi, tetapi pemikiran saat ini adalah bahwa tim tersebut keluar dari tenda yang tertutupi salju, melarikan diri dengan panik menuju tempat penampungan sementara, di pepohonan sekitar satu mil di lereng bawah.

Tiga dari mereka terluka parah, tetapi semua orang ditemukan di luar tenda, jadi kemungkinannya adalah korban selamat yang tidak terlau parah, mampu menyeret mereka yang lebih terluka parah dalam upaya untuk menyelamatkan mereka.

Sebagian besar dari sembilan orang yang tewas di Kholat Saykhl meninggal karena hipotermia, sementara yang lain mungkin karena cedera-cedera mereka. Keadaan melepas pakaian mungkin bisa dijelaskan oleh paradoxical undressing, seperti halnya laporan yang mencatat beberapa mayat memiliki jejak radioaktivitas (yang mungkin adalah hasil dari Torium di lentera kemah).

*) Paradoxical undressing adalah kondisi tubuh yang mengalami kedinginan yang hebat (hipotermia yang parah). Pada kondisi ini, tubuh akan berhenti menggigil, tidak merasa kedinginan, dan malah merasakan kepanasan. Mereka yang mengalami ini, malah akan melepas pakaian mereka meskipun sebenarnya mereka sedang kedinginan.

Mata dan lidah yang hilang dari beberapa korban mungkin disebabkan oleh hewan pemakan mayat, yang mematuk mata dan lidah mereka, tetapi itu juga tetap bisa menjadi pertanyaan terbuka untuk dibahas.

Gaume menjelaskan :

"Studi baru ini tidak mencoba menjelaskan semua yang terjadi pada tahun 1959, dan kasus Dyatlov Pass kemungkinan tidak akan pernah terpecahkan sepenuhnya. Studi ini hanya menawarkan penjelasan yang masuk akal tentang peristiwa yang akhirnya memicu kematian di Kholat Saykhl."

Beberapa orang di Rusia telah menyuarakan pendapat bahwa para pendaki itu telah mengambil risiko yang bodoh atau yang tidak perlu dilakukan, yang pada akhirnya membunuh mereka.

Studi Puzrin menunjukkan bahwa longsoran salju yang aneh ini akan mengejutkan para ahli pendaki gunung yang memiliki pengalaman seumur hidup.

Gaume khawatir penjelasan yang mereka berikan terlalu mudah untuk diterima oleh sebagian besar publik, karena "orang-orang tidak ingin itu menjadi longsoran salju, itu terlalu normal".

Dia menambahkan :

"Saat para pendaki memutuskan untuk pergi ke hutan (pepohonan), mereka merawat teman-teman mereka yang terluka - tidak ada yang ditinggalkan. Saya pikir ini adalah kisah yang luar biasa tentang keberanian dan persahabatan dalam menghadapi kekuatan alam yang brutal."

Freddie Wilkinson pun mengatakan :

"Orang-orang senang menciptakan skenario yang tidak masuk akal tentang kematian di alam liar, karena kita tidak akan pernah tahu 100 persen apa yang terjadi".

"Bagi saya, kisah ini sangat kuat, mendalam, mengharukan, karena ini (melibatkan) sekelompok anak muda yang pergi ke alam liar dan mereka tidak pernah kembali."

(Sumber : Has science solved the Dyatlov Pass incident, A New Explanation for the Dyatlov Pass Incident)